Minggu, 14 Agustus 2011

Kapankah Awal Kehidupan Manusia di Dataran Tinggi Bandung?

Jika mencermati cerita rakyat Sangkuring yang gagal berperahu di atas Situ Hyang bersama ibu kandungnya yang bernama Dayang Sumbi, deretan pertanyaan kemudian muncul. Adakah Oedipus dari Tanah Sunda itu merupakan saksi dan sekaligus pelaku peradaban manusia pada saat itu.
Situ Hyang terbentuk akibat letusan dahsyat Gunung Sunda. Selain menciptakan terbentuknya kaldera, dari salah satu sisinya kemudian lahir Gunung Tangkubanperahu. Gunung api tipe “A” itu dua kali mengalami letusan dahsyat.  Masing-masing 105.000 tahun lalu dan 55.000 tahun lalu.

Dalam letusan yang dahsyat Gundung Sunda, Ketua Masyarakat Geografi Indonesia (MGI), Drs. T. Bachtiar S.E. mengungkapkan peristiwa itu secara dramatis. Abu dan batuan yang dilontarkan dari kantong magma gunung tersebut menciptakan payung raksasa. Seketika alam berubah menjadi gelap gulita. Abu dan material gunung api itu kemudian menimbuni sebagian besar Dataran Tinggi Bandung, dan mengubur dalam-dalam kehidupan yang sudah ada di atasnya.

Kecuali artefak berupa pecahan batu obsidian, tidak banyak temuan lainnya yang bisa memberi petunjuk adanya kehidupan manusia di  Dataran Tinggi Bandung pada zaman prasejarah. Artefak tersebut pertama kali ditemukan Pimpinan Dinas Pertambangan Hindia Belanda, Dr. A.C. de Jongh pada tahun 1920 di beberapa lokasi sekitar daerah yang dulunya merupakan tepian Situ Hyang. Temuan itu kemudian ditindaklanjuti dengan penelitian di seluruh Datarang Tinggi Bandung oleh Dr. G.R. Koeningwald. Hasil penelitiannya dipublikasikan tahun 1935. Koeningwald, paleontropolog terkemuka, selama penelitiannya di Dataran Tinggi Bandung berhasil menemukan artefak batu obsidian dan kapak batu yang sudah dipoles, namun bukan berasal dari batu obsidian. Kapak batu tersebut terbuat dari jenis batuan lain, seperti calchedon dan batu kwarsit. Melihat bentuknya, artefak tersebut bukan hanya sekadar jenis pecahan. Tetapi banyak di antaranya yang sudah berbentuk menjadi ujung anak panah, pisau, penyerut, mata bor dan sebagainya. Artefak dari jenis batuan calchedon, selain ditemukan dalam bentuk batu kapak yang sudah dipoles, terdapat pula dalma bentuk batu tumbuk, batu asah dan bahkan gelang-gelang batu.

Apabila kita menyusuri daerah yang dulunya merupakan sisi Situ Hyang, paling tidak terdapat dua lokasi yang selama ini dijadikan situr prasejarah karena memiliki hubungan erat dengan perjalanan sejarah geologi Dataran Tinggi Bandung. Pertama adalah situs Dago Pakar dan kedua situs Goa Pawon.


Situs Dago Pakar berada pada sebuah bukit di Kampung Kordon yang terletak di sisi Jalan Dago Pakar Timur. Geolog Soewarno Darsoprajitno (1985), lewat sebuah tulisan singkatnya pernah mengungkapkan, Dago Pakar pernah dijadikan tempat tinggal manusia prasejarah. Katanya, mereka sebelumnya melakukan migrasi dengan menyusuri Sungai Citarum dan Sungai Cimanuk. Dugaan itu didasarkan atas ditemukannya artefak-artefak di Kampung Kordon dan Sekepicung, tidak jauh dari pilar kadaster nomor Kq 380.



Pada zaman penjajahan Belanda, pilar itu dinamakan penduduk setempat sayang kaak yang secara harafiah artinya sama dengan tempat burung kaak bersarang. Burung kaak adalah sejenis burung gagak, namun bentuk badannya lebih kecil. Kehadiran burung tersebut acapkali dipercaya membawa berita kematian. Julukan berbau mistik sayang kaak terhadap pilar kadaster Kq 380 diberikan untuk menghindarkan terjadinya pengrusakan, mengingat pentingnya peranan pilar tersebut. Maklum, masyarakat saat itu lebih percaya pada hal-hal yang berbau takhyul.

Situs Dago Pakar hingga kini masih sering dikunjungi para ahli geologi, arkeologi dan lainnya. Bahkan geolog Prof. R.P. Koesomadinata, setiap kali berkunjung ke sana, setiap kali itu pula masih menemukan artefak-artefak.

Selain situs Dago Pakar, tak kalah menariknya adalah situs Goa Pawon yang terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatan, Kabupaten Bandung sekitar tujuh kilometer dari pintu tol Padalarang menunju Cianjur. Dari Kota Bandung jaraknya sekitar 20 kilometer. Goa tersebut bisa dicapai dengan kendaraan roda empat, setelah melewati jalan desa sejauh kurang lebih dua kilometer.


Goa ini merupakan satu-satunya goa gamping yang letaknya paling dekat dengan kawasan yang sebelumnya merupakan sisi barat Situ Hyang. Keberadaannya, sebelumnya pernah dilaporkan Kusumadinata dalam Riwayat Geologi Dataran Tinggi Bandung (1969). Di dalam goa, ia menemukan banyak batuan dengan bentuk-bentuk yang aneh-aneh, seperti busur-busur besar dan blok-blok raksasa yang menggantung. Tetapi sebegitu jauh tidak ditemukan bukti keberadaan manusia yang pernah tinggal di sana. Kecuali timbunan sedimen dan timbunan kotoran kelelawar yang sejak lama menjadi penghuni tetap goa tersebut.

Goa pawon berada pada salah satu sisi tebing curam Pasir Pawon. Tingginya sekitar 720 meter di atas permukaan laut. Tempat itu bisa dicapai malalui jalan setapak sejauh kurang lebih 300 meter. Puncak Pasir Pawon merupakan “taman batu” dan sekaligus tempat paling indah di kawasan kars Padalarang. Dinamakan “taman batu” karena tegakan-tegakan batu dengan relief kasar yang bertebaran, mirip dengan puing-puing yang menghias puncak bukit itu. Melihat bentuk dan ukurannya tidak sama, pasti akan membangkitan rasa penasaran siapa pun yang ingin memahami kawasan itu sebagai bagian dari sejarah Geologi Dataran Tinggi Bandung.

Di bagian tengah puncak bukit tersebut terdapat makam yang oleh penduduk setempat dinamakan makan Ibu Dorong Ranggamanik. Makam itu sesekali diziarahi oleh mereka yang mengharapkan berbagai keinginan masing-masing. Sesekali, di tempat itu dijumpai sekawanan kera yang mencari makan. Entah dari mana asalnya.

Akan halnya goa pawon, goa tersebut terbentuk oleh proses geologi yang berlangsung dalam kurun waktu puluhan sampai ratusan ribu tahun lalu. Bagian dalamnya terdiri dari beberapa ruang. Goa utama yang sekaligus merupakan paling besar memiliki lubang yang tembus sampai ke bagian permukaan tanah pasir pawon. Dari lubang itu sinar matahari masih memancar menerangi bagian goa yang lembab. Goa lainnya berukuran lebih kecil. Dari mulu goa tersebut, pengunjung bisa menyaksikan hamparan perbukitan cukup luas yang kini dijadikan lahan pertanian penduduk. Di bagian tengah mengalir sungai kecil Cibukur.

Pada bagian goa inilah ditemukan tinggalan budaya yang amat penting, terutama untuk menyimak tabir peradaban manusia di Situ Hyang. Tabir ini awalnya terungkap oleh sekelompok peneliti muda dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRSB) melakukan penelitian di sana. Mereka adalah Eko Yulianto, Budi Brahmantyo, dan Johan Arief yang dibantu oleh Sudjatmiko.

Pada mulanya mereka hanya meneliti endapan Danau Bandung Purba di Sungai Cibukur. Namun temuannya yang dianggap menarik telah mendorong penelitian dilanjutkan ke Goa Pawon yang letaknya berdekatn. Ternyata pada sedimen goa tersebut, ditemukan artefak-artefak berupa kepingan tulan vertebrata dan beberapa jenis moluska darat. Berdasarakan temuan dalam panggalian yang dilakukan Balai Arkeologi (Balar) Bandung pada bulan Oktober 2003, arkeolog Drs. Lutfi Youndri M. Hum menyimpulkan, Goa Pawon memiliki multi fungsi. Selain sebagai tempat hunian, goa tersebut dijadikan tempat penguburan.

Hal ini dibuktikan berdasarkan penggalian yang dilakukan pada kedalaman dua meter dari permukaan tanah, ditemukan berbagai peralatan yang terbuat dari bahan obsidian, jasper dan kelsedon, alat tulang dan taring berupa lancipan dan spatula, perkutor, sisa-sisa moluska, jejak perhiasan dari gigi ikan (hiu), dan taring hewan yang meliputi sekitar 20.250 serpihan tulang belulang dan 4.050 serpihan batu.

Akan tetapi, luar biasa, pada kedalaman 80 sentimeter ditemukan fosil tengkorak manusia. Selanjutnya pada kedalaman 1.20 meter ditemukan fosil tulang kerung dan telapak kaki manusia. Temuan kerangka manusia ini memiliki nilai informasi arkeologi yang bisa dipakai untuk menafsirkan keberadaan manusia prasejarah yang diduga pernah tinggal di sekitar Dataran Tinggi Bandung.

Yang menarik, dari berbagai temuan peralatannya bukan berasal dari daerah setempat di  mana mereka tinggal. Bahannya harus didatangkan atau dibawa dari daerah lain. Di sekitar Dataran Tinggi Bandung hanya ada dua daerah yang merupakan tempat ditemukannya batu obsidian, yakni Kampung Nagreg dan Kampung Nagrak terletak di dekat ladang geothermal Darajat, di sebelah barat daya Kota Garut. Sedangkan Nagrek terletak di perbatasan Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Garut. Di daerah ini, batu obsidian banyak dijumpai di Kampung Kendan, sehingga dinamakan batu kendan.

Dalam perskpektif sejarah, nama kampung itu disebut-sebut dama naskah Carita Parahyangan sebagai salah satu keraaan kecil yang menjadi bawahan Kerajaan Tarumanagara, sekitar abad ke 5 – 7 M. Wilayah kekuasaannya meliputi sungai Citarum di sebelah barat, Sungai Cimanuk di sebelah Timur, dan Gunung Ciremai di sebelah utara.

Pusat pemerintahan Kerajaan Kendan terletak di utara Stasiun Nagreg, dimana terdapat sebuah tempat yang oleh penduduk setempat disebut pamujaan atau tempat memuja. Tempat tersebut diperkirakan sebagai kabuyutan karena menurut Pleyte (1909), di sana ditemukan patung Durga yang sangat mungil. Patung tersebut kini disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Jika ditarik garis lurus dari situs Dago Pakar, kedua daerah  itu letaknya sekitar 30 – 40 kilometer. Lebih jauh lagi jika ditarik jarak dari Goa Pawon yang mencapai jauh sekitar 50 km lebih. Goa Pawon berada di ujung barat, sedangkan Nagrek berada di ujung timur.

Sebagai situs penting, Dago Pakar dan Goa Pawon seharusnya dilindungi. Kedua situs tersebut bisa menjadi sumber ilmu pengetahun di mana para siswa bisa belajar sejarah, geologi, geografi dan ilmu lainnya secara langsung di lapangan. Cara ini bisa melengkapi pengetahuan mereka sehingga menambah kecintaan dan kebanggaan pada Tanah Air-nya.

Akan tetapi, sulit dimengerti, nasib bukit kecil yang selama ini dianggap sebagai situs Dago Pakar, kini sudah penuh bangunan. Di sana terdapat enam buah Sekolah Dasar Negeri (SDN), masing-masing SDN Pakar I, II, III dan SDN Kordon I, II, III, tempat belajar ratusan anak didik yang berasal dari penduduk setempat. Bangunan lainnya yang paling banyak adalah perumahan. Sehingga secara sepintas, daerah itu tidak ada bedanya dengan daerah-daerah lain yang sudah jadi pemukiman penduduk.

Nasib yang hampir sama dialami pula situs Goa Pawon. Daerah sekitarnya yang merupakan kawasan kars, sudah lama dieksploitasi, dijadikan sumber bahan galian yang memberikan sumbangan terhadap kas daerah. Selama berpuluh tahun, kegiatan di daerah itu hampir tak pernah henti. Sepanjang hari bahkan sampai malam, deru mesin-mesin pemotong marmer dan dentuman dinamit penghancur batu gamping hampir tak pernah sepi.
Karena itu jangan menyesal jika kelak, yang kita wariskan kepada anak cucu hanya tinggal sekeping cerita saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar